VISI MISI MIN 1 MUKOMUKO
- terwujudnya siswa MIN 1 Mukomukokabupaten Mukomukoyang islamiberakhlak mulia cerdas dan kompetitif.
MISI MIN 1 MUKOMUKO
- Terwujudnya pengalaman ajaran islam dalam kehidupan sehari hari
- mewujudkan siswa madrasah yang berakhlak mulia
- meningkatkan mutu dan daya saingsiswa madrasah
- mewujudkan madrasah yang menjadi pilihan masyarakat
- mewujudkan managemen yang baik
PENGERTIAN MADRASAH
Kata "madrasah" dalam bahasa Arab adalah bentuk
kata "keterangan tempat" (zharaf makan) dari akar kata
"darasa". Secara harfiah "madrasah" diartikan sebagai
"tempat belajar para pelajar", atau "tempat untuk memberikan
pelajaran". Dari akar kata "darasa" juga bisa diturunkan kata
"midras" yang mempunyai arti "buku yang dipelajari" atau
"tempat belajar"; kata "al-midras" juga diartikan sebagai
"rumah untuk mempelajari kitab Taurat".
Kata "madrasah" juga ditemukan dalam bahasa
Hebrew atau Aramy, dari akar kata yang sama yaitu "darasa", yang
berarti "membaca dan belajar" atau "tempat duduk untuk
belajar". Dari kedua bahasa tersebut, kata "madrasah" mempunyai
arti yang
sama: "tempat belajar". Jika diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, kata "madrasah" memiliki arti "sekolah" kendati pada mulanya kata "sekolah" itu sendiri bukan berasal dari bahasa Indonesia, melainkan dari bahasa asing, yaitu school atau scola.
Sungguhpun secara teknis, yakni dalam proses belajar-mengajarnya secara formal, madrasah tidak berbeda dengan sekolah, namun di Indonesia madrasah tidak lantas dipahami sebagai sekolah, melainkan diberi konotasi yang lebih spesifik lagi, yakni "sekolah agama", tempat di mana anak-anak didik memperoleh pembelajaran hal-ihwal atau seluk-beluk agama dan keagamaan (dalam hal ini agama Islam).
sama: "tempat belajar". Jika diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, kata "madrasah" memiliki arti "sekolah" kendati pada mulanya kata "sekolah" itu sendiri bukan berasal dari bahasa Indonesia, melainkan dari bahasa asing, yaitu school atau scola.
Sungguhpun secara teknis, yakni dalam proses belajar-mengajarnya secara formal, madrasah tidak berbeda dengan sekolah, namun di Indonesia madrasah tidak lantas dipahami sebagai sekolah, melainkan diberi konotasi yang lebih spesifik lagi, yakni "sekolah agama", tempat di mana anak-anak didik memperoleh pembelajaran hal-ihwal atau seluk-beluk agama dan keagamaan (dalam hal ini agama Islam).
Dalam prakteknya memang ada madrasah yang di samping
mengajarkan ilmu-ilmu keagamaan (al-'ulum al-diniyyah), juga mengajarkan
ilmu-ilmu yang diajarkan di sekolah-sekolah umum. Selain itu ada madrasah yang
hanya mengkhususkan diri pada pelajaran ilmu-ilmu agama, yang biasa disebut
madrasah diniyyah. Kenyataan bahwa kata "madrasah" berasal dari
bahasa Arab, dan tidak diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, menyebabkan
masyarakat lebih memahami "madrasah" sebagai lembaga pendidikan
Islam, yakni "tempat untuk belajar agama" atau "tempat untuk
memberikan pelajaran agama dan keagamaan".
Para ahli sejarah pendidikan seperti A.L.Tibawi dan Mehdi
Nakosteen, mengatakan bahwa madrasah (bahasa Arab) merujuk pada lembaga
pendidikan tinggi yang luas di dunia Islam (klasik) pra-modern. Artinya, secara
istilah madrasah di masa klasik Is¬lam tidak sama terminologinya dengan
madrasah dalam pengertian bahasa Indonesia. Para peneliti sejarah pendidikan
Islam menulis kata tersebut secara bervariasi misalnya, schule atau hochschule
(Jerman), school, college atau academy (Inggris).
Nakosteen menerjemahkan madrasah dengan kata univer¬sity
(universitas). la juga menjelaskan bahwa madrasah-madrasah di masa klasik Islam
itu didirikan oleh para penguasa Islam ketika itu untuk membebaskan masjid dari
beban-beban pendidikan sekuler-sektarian. Sebab sebelum ada madrasah, masjid
ketika itu memang telah digunakan sebagai lembaga pendidikan umum. Tujuan
pendidikan menghendaki adanya aktivitas sehingga menimbulkan hiruk-pikuk,
sementara beribadat di dalam masjid menghendaki ketenangan dan kekhusukan
beribadah. Itulah sebabnya, kata Nakosteen, pertentangan antara tujuan
pendidikan dan tujuan agama di dalam masjid hampir-hampir tidak dapat diperoleh
titik temu. Maka dicarilah lembaga pendidikan alternatif untuk mengembangkan
ilmu pengetahuan dan pendidikan umum, dengan tetap berpijak pada motif
keagamaan. Lembaga itu ialah madrasah.
George Makdisi berpendapat bahwa terjemahan kata
"madrasah" dapat disimpulkan dengan tiga perbedaan mendasar yaitu:
Pertama, kata universitas, dalam pengertiannya yang pal¬ing awal, merujuk pada
komunitas atau sekelompok sarjana dan mahasiswa, Kedua; merujuk pada sebuah
bangunan tempat kegiatan pendidikan setelah pendidikan dasar (pendidikan
tinggi) berlangsung. Ketiga; izin mengajar (ijazah al-tadris, licentia docendi)
pada madrasah diberikan oleh syaikh secara personal tanpa kaitan apa-apa dengan
pemerintahan.
Erat kaitannya dengan penggunaan istilah
'''madrasah" yang menunjuk pada lembaga pendidikan, dalam perkembangannya
kemudian istilah "madrasah" juga mempunyai beberapa pengertian di
antaranya: aliran, mazhab, kelompok atau golongan filosof dan ahli pikir atau
penyelidik tertentu pada metode dan pemikiranyang sama. Munculnya pengertian
ini seiring dengan perkembangan madrasah sebagai lembaga pendidikan yang di
antaranya menjadi lembaga yang menganut dan mengembangkan pandangan atau aliran
dan mazdhab pemikiran (school of thought) tertentu.
Pandangan-pandangan atau aliran-aliran itu sendiri timbul
sebagai akibat perkembangan ajaran agama Islam dan ilmu pengetahuan ke berbagai
bidang yang saling mengambil pengaruh di kalangan umat Islam, sehingga mereka
dan berusaha untuk mengembangkan aliran atau mazhabnya masing-masing, khususnya
pada periode Islam klasik. Maka, terbentuklah madrasah-madrasah dalam
pengertian kelompok pemikiran, mazhab, atau aliran tersebut. Itulah sebabnya
mengapa sebagian besar madrasah yang didirikan pada masa klasik itu dihubungkan
dengan nama-nama mazhab yang terkenal, misalnya madrasah Safi'iyah, Hanafiyah,
Malikiyah dan Hambaliyah. Hal ini juga berlaku bagi madrasah-madrasah di
Indonesia, yang kebanyakan menggunakan nama orang yang mendirikannya atau
lembaga yang mendirikannya.
B. Pengertian
Madrasah di Indonesia
Penamaan lembaga pendidikan di Indonesia dewasa ini pada
umumnya merupakan pinjaman dari bahasa Barat, seperti universitas (dari
university), sekolah (dari school), akademi (dari academy), dan lain-lain. Akan
tetapi, tidak demikian halnya dengan madrasah. Penerjemahan kata madrasah ke
dalam bahasa Indonesia dengan mengaitkan pada bahasa Barat dianggap tidak
tepat. Di Indonesia, madrasah tetap dipakai dengan kata aslinya, madrasah,
kendatipun pengertiannya tidak lagi persis dengan apa yang dipahami pada masa
klasik, yaitu lembaga pendidikan tinggi, karena bergeser menjadi lembaga
pendidikan tingkat dasar sampai menengah. Pergeseran makna dari lembaga
pendidikan tinggi menjadi lembaga pendidikan tingkat dasar dan menengah itu,
tidak saja terjadi di Indonesia, tetapi juga di Tumir Tengah sendiri.
Sejauh ini tampaknya belum ada data yang pasti kapan
istilah madrasah, yang mempunyai pengertian sebagai lembaga pendidikan, mulai
digunakan di Indonesia. Para peneliti sejarah pendidikan Islam pun pada umumnya
lebih tertarik membicarakan sistem pendidikan atau pengajaran tradisional
Is¬lam yang digunakan baik di masjid, surau (Minangkabau), pesantren (Jawa),
dan lain-lain, daripada membicarakan madrasah.
Dalam beberapa hal, penyebutan istilah madrasah di
Indonesia juga seringkali menimbulkan konotasi "ketidakaslian",
dibandingkan dengan sistem pendidikan Islam yang dikembangkan di masjid, dayah
(Aceh), surau (Minangkabau), atau pesantren (Jawa), yang dianggap asli
Indonesia. Berkembangnya madrasah di Indonesia di awal abad ke-20 M ini, memang
merupakan wujud dari upaya pembaharuan pendidikan Islam yang dilakukan para
cendikiawan Muslim Indonesia, yang melihat bahwa lembaga pendidikan Islam
"asli" (tradisional) tersebut dalam beberapa hal tidak lagi sesuai
dengan tuntutan dan perkembangan zaman. Di samping itu, kedekatan sistem
belajar-mengajar ala madrasah dengan sistem belajar-mengajar ala sekolah yang,
ketika madarash mulai bermunculan, memang sudah banyak dikembangkan oleh
pemerintah Hindia Belanda, membuat banyak orang berpandangan bahwa madrasah
sebenarnya merupakan bentuk lain dari sekolah, hanya saja diberi muatan dan
corak keIslaman.
Pandangan ini diperkuat oleh kenyataan bahwa masuknya
Islam ke bumi Nusantara ini, baik pada gelombang pertama (abad ke-7 M) maupun
gelombang ke-2 (abad ke-13) tidak diikuti oleh muncul atau berdirinya madrasah.
Lembaga-lembaga pendidikan yang bermunculan seiring dengan penyebaran Islam di
Nusantara, terutama di Jawa, ketika itu ialah pesantren. Dengan alasan itu pula
pesantren secara historis seringkali disebut tidak hanya identik dengan makna
keislaman, tetapi juga mengandung makna keaslian Indonesia (indigenous). Karena
itu membicarakan madrasah di Indonesia dalam kaitannya dengan sejarah munculnya
lembaga-lembaga pendidikan tradisional Islam seringkali tidak bisa dipisahkan
dari pembicaraan mengenai pesantren sebagai cikal-bakalnya. Dengan kata lain,
madrasah merupakan perkembangan lebih lanjut dari pesantren. Karena itu menjadi
penting untuk mengamati proses historis sebagai mata rantai yang menghubungkan
perkembangan pesantren di masa lalu dengan munculnya madrasah di kemudian hari.
Menurut Nurcholish Madjid, lembaga pendidikan yang serupa
dengan pesantren sebenarnya sudah ada sejak masa kekuasaan Hindu-Budha, sehingga
Islam tinggal meneruskan dan mengislamkan lembaga pendidikan yang sudah ada
itu. Namun demikian dalam proses pengislaman itu tidak bisa dihindari
terjadinya akomodasi dan adaptasi. Tegasnya, karena lembaga pendidikan yang
serupa dengan pesantren itu di masa Hindu-Budha lebih bernuansa mistik, maka
ajaran Islam yang disampaikan di pesantren pun pada mulanya bercorak atau
bernuansa mistik pula, yang dalam khasanah Islam lebih dikenal dengan sebutan
tasawuf. Pada masa perkembangan Islam di Indonesia itu, tasawuf memang
merupakan gejala umum dan sangat dominan di Dunia Islam pada umumnya. Karena
penduduk Nusantara sebelum Islam memiliki kecenderungan yang kuat terhadap
mistik, maka agama Islam yang disampaikan dengan pendekatan mistik atau tasawuf
itu lebih mudah diterima dan dianut.
Contoh dari segi mistik ini misalnya adalah adanya konsep
"wirid" dalam pengajian. Seorang kiai secara konsisten mengaji kitab
tertentu pada saat tertentu, misalnya kitab Sanusiyah pada malam Kamis. Hal itu
adalah sebagai wirid yang dikenakan kepada dirinya sendiri, sehingga menjadi
semacam wajib hukumnya yang kalau ditinggalkan dengan sengaja dianggap akan
mendatangkan dosa. Contoh lain dari suasana mistik ini terlihat pula dalam
hubungan kiai-santri yang lebih merupakan kelanjutan dari konsep hubungan
"guru-cantrik" yang telah ada sebelum Islam datang ke Jawa, yang
banyak dipengaruhi oleh konsep-konsep Hindu-Budha, atau sekurang-kurangnya
konsep stratifikasi masyarakat Jawa sendiri.
Tetapi lambat laun gejala itu semakin berkurang bersamaan
dengan semakin mendekatnya pesantren ke dalam jaringan Islam di Haramain,
tempat sumber Islam yang "asli" yang di akhir masa pertengahan
menjadi pusat reformasi Islam, dengan munculnya gagasan rekonsiliasi antara
tasawuf dan syari'at. Persentuhan global dengan pusat Islam di Haramain di
akhir abad ke-19 M dan awal abad ke-20 M itulah, menurut Malik Fadjar, yang
memungkinkan para pelaku pendidikan Islam melihat sistem pembelajaran yang
lebih terprogram. Maka di awal abad ke-20 M di Indonesia secara
berangsur-angsur tumbuh dan berkembang pola pembelajaran Islam yang dikelola
dengan sistem "madrasi" yang lebih modern, yang kemudian dikenal
dengan nama "madrasah". Karena itu sejak awal kemunculannya, madrasah
di Indonesia sudah mengadopsi sistem sekolah modern dengan ciri-ciri:
digunakannya sistem kelas, pengelompokkan pelajaran-pelajaran, penggunaan
bangku, dan dimasukkannya pengetahuan umum sebagai bagian dari kurikulumnya.
Ciri-ciri itu tidak terdapat dalam pesantren yang semula
lebih bersifat individual, seperti terdapat pada sistem weton dan sorogan. Akan
tetapi, dalam kurun waktu terakhir, ketika modernisasi pendidikan masuk ke
dunia pesantren, dan melahirkan apa yang kemudian disebut sebagai
"pesantren modern", maka semua ciri madrasah yang disebutkan di atas
tadi sudah menjadi bagian dari keberadaan pesantren. Karena itu muncul
pertanyaan, apa bedanya madrasah dengan pesantren (terutama pesantren modern),
kalau keduanya memiliki ciri-ciri yang sama? Apa
pula bedanya madrasah dengan sekolah kalau madrasah juga memasukkan pengetahuan
umum yang diajarkan di sekolah ke dalam kurikulumnya? Untuk menjawab pertanyaan
tersebut, marilah kita ikuti pembahasan lebih lanjut di bawah ini.
C. Karakteristik
Madrasah di Indonesia
Sebagaimana telah dikemukakan, secara harfiah madrasah
bisa diartikan dengan sekolah, karena secara teknis keduanya memiliki kesamaan,
yaitu sebagai tempat berlangsungnya proses belajar-mengajar secara formal.
Namun demikian Karel Steenbrink membedakan madrasah dan sekolah karena keduanya
mempunyai karakteristik atau ciri khas yang berbeda. Madrasah memiliki
kurikulum, metode dan cara mengajar sendiri yang berbeda dengan sekolah.
Meskipun mengajarkan ilmu pengeta¬huan umum sebagaimana yang diajarkan di
sekolah, madrasah memiliki karakter tersendiri, yaitu sangat menonjolkan nilai
religiusitas masyarakatnya. Sementara itu sekolah merupakan lembaga pendidikan
umum dengan pelajaran universal dan terpengaruh iklim pencerahan Barat.
Perbedaan karakter antara madrasah dengan sekolah itu
dipengaruhi oleh perbedaan tujuan antara keduanya secara historis. Tujuan dari
pendirian madrasah ketika untuk pertama kalinya diadopsi di Indonesia ialah
untuk mentransmisikan nilai-nilai Islam, selain untuk memenuhi kebutuhan
modernisasi pendidikan, sebagai jawaban atau respon dalam menghadapi
kolonialisme dan Kristen, di samping untuk mencegah memudarnya semangat
keagamaan penduduk akibat meluasnya lembaga pendidikan Belanda itu. Sekolah
untuk pertama kalinya diperkenalkan oleh pemerintah Belanda pada sekitar
dasawarsa 1870-an bertujuan untuk menyiapkan calon pegawai pemerintah kolonial,
dengan maksud untuk melestarikan penjajahan. Dalam lembaga pendidikan yang
didirikan Kolonial Belanda itu, tidak diberikan pelajaran agama sama sekali.
Karena itu tidak heran jika di kalangan kaum pribumi, khususnya di Jawa, ketika
itu muncul resistensi yang kuat terhadap sekolah, yang mereka pandang sebagai
bagian integral dari rencana pemerintah kolonial Belanda untuk "membelandakan"
anak-anak mereka.
Pesantren memiliki tujuan yang lain lagi. Menurut Mahmud
Junus, Djumhur, dan Steenbrink, pesantren didirikan untuk menjadi basis
perjuangan rakyat dalam melawan penjajah. Pesantren merupakan upaya kalangan
pribumi untuk mengembangkan sistem pendidikan sendiri yang sesuai dengan
tuntunan agama dan kebudayaan daerah untuk melindungi diri dari pengaruh sistem
pendidikan kolonial (Belanda) saat itu, melalui "politik balas budi",
atau yang lebih dikenal dengan sebutan "politik etis".
Namun, meskipun pesantren berperan lebih dahulu dalam
membendung pengaruh pendidikan kolonial, dibandingkan dengan madrasah, para
pembaharu pendidikan Islam di Indonesia tampaknya mengakui bahwa dalam banyak
hal, lembaga pendidikan Islam tradisional ini mengandung banyak kelemahan,
sementara pada sisi lain lembaga pendidikan yang didirikan pemerintah kolonial
Belanda harus diakui memiliki banyak kelebihan. Madrasah yang, seperti
kebanyakan lembaga modern lainnya, masuk pada sistem pendidikan di Indonesia
pada awal abad ke-20, ini dimaksudkan sebagai upaya menggabungkan hal-hal yang
positif dari pendidikan pesantren dan sekolah itu.
Lembaga pendidikan madrasah ini secara berangsur-angsur
diterima sebagai salah satu institusi pendidikan Islam yang juga berperan dalam
perkembangan peningkatan mutu pendidikan di Indonesia.
Telah disinggung bahwa madrasah berbeda pengertiannya
antara masa klasik Islam dengan masa ketika lembaga pendidikan tersebut masuk
ke Indonesia pada sekitar awal abad ke-20. Madrasah di Indonesia merujuk pada
pendidikan dasar sampai menengah, sementara pada masa klasik Islam madrasah
merujuk pada lembaga pendidikan tinggi (the institution of higher
learn¬ing"). Perbedaan tersebut pada gilirannya bukan hanya merupakan
masalah perbedaan definisi, tapi juga menunjukkan perbedaan karakteristik
antara keduanya. Merujuk pada penjelasan Nakosteen, motif pendirian madrasah
pada masa klasik Islam ialah untuk mengembangkan ilmu pengetahuan dan
pendidikan umum (sekuler), yang dianggap kurang memadai jika dilakukan di dalam
masjid, sebab masjid merupakan tempat ibadah.
Namun, upaya untuk mengembangkan ilmu pengetahuan dan
pendidikan umum itu di madrasah sejak awal perkembangannya telah mengalami
kegagalan. Sebab, penekanan pada ilmu-ilmu agama (al-'ulum al-dmiyyah) terutama
pada bidang fikih, tafsir, dan hadits, ternyata lebih dominan, sehingga
ilmu-ilmu non-agama khususnya ilmu-ilmu alam dan eksakta, tetap berada dalam
posisi pinggiran atau marjinal. Hal itu berbeda dengan madrasah di Indonesia
yang sejak awal pertumbuhannya telah dengan sadar menjatuhkan pilihan pada (a)
madrasah yang didirikan sebagai lembaga pendidikan yang semata-mata untuk
mendalami agama (li tafaqquh fiddin), yang biasa disebut madrasah diniyah
salafiyah; dan (b) madrasah yang didirikan tidak hanya untuk mengajarkan ilmu
pengetahuan dan nilai-nilai Is¬lam, tapi juga memasukkan pelajaran-pelajaran
yang diajarkan di sekolah-sekolah yang diselenggarakan pemerintah Hindia
Belanda, seperti madrasah Adabiyah di Sumatera Barat, dan madrasah yang
diselenggarakan oleh Muhammadiyah, Persatuan Islam, dan PUI di Majalengka.
Dari keterangan di atas menarik untuk dicatat bahwa salah
satu karakteristik madrasah yang cukup penting di Indonesia pada awal
pertumbuhannya ialah bahwa di dalamnya tidak ada konflik atau upaya mempertentangkan
ilmu-ilmu agama dengan ilmu-ilmu umum. Konflik (lebih tepat disebut
perselisihan pendapat) itu biasanya terjadi antara satu organisasi keagamaan
dengan organisasi keagamaan lain yang memiliki faham keagamaan yang berbeda,
dan mereka sama-sama mendirikan madrasah. Misalnya NU, Muhammadiyah, Persis,
Al-Irsyad,Tarbiyah Islamiyah, dan lain-lain, memiliki madrasahnya
sendiri-sendiri untuk mensosialisasikan dan mengembangkan faham keagamaan
mereka masing-masing.
Madrasah di Indonesia secara historis juga memiliki
karakter yang sangat populis (merakyat), berbeda dengan madrasah pada masa
klasik Islam. Sebagai lembaga pendidikan tinggi madrasah pada masa klasik Islam
terlahir sebagai gejala urban atau kota. Madrasah pertamakali didirikan oleh
Dinasti Samaniyah (204-395 H/819-1005 M) di Naisapur kota yang kemudian dikenal
sebagai daerah kelahiran madrasah. Daerah Haisapur mencakup sebagian Iran,
sebagian Afghanistan dan bekas Uni-Sovyet antara laut Kaspia dan laut Aral.
Dengan inisiatif yang datang dari penguasa ketika itu, maka praktis madrasah
tidak kesulitan menyerap hampir segenap unsur dan fasilitas modern, seperti
bangunan yang permanen, kurikulum yang tertata rapi, pergantian jenjang
pendidikan, dan tentu saja anggaran atau dana yang dikucurkan oleh pemerintah.
Hal ini berbeda dengan madrasah di Indonesia. Kebanyakan
madrasah di Indonesiapada mulanya tumbuh dan berkembang atas inisiatif tokoh
masyarakat yang peduli, terutama para ulama yang membawa gagasan pembaharuan
pendidikan, setelah mereka kembali dari menuntut ilmu di Timur Tengah. Dana
pembangunan dan pendidikannya pun berasal dari swadaya masyarakat. Karena
inisiatif dan dananya didukung oleh masyarakat, maka masyarakat sendiri
diuntungkan secara ekonomis, artinya mereka dapat memasukkan anak-anak mereka
ke madrasah dengan biaya ringan.
Sebagai lembaga pendidikan swadaya, madrasah menampung
aspirasi sosial-budaya-agama masyarakat yang tinggal di wilayah pedesaan.
Tumbuh dan berkembangnya madrasah di pedesaan itu menjadi petunjuk bahwa
masyarakat Indonesia ternyata memiliki komitmen yang sangat tinggi terhadap
pendidikan putra-putri mereka. Dari sudut pandang lain, hal itu juga berarti
ikut meringankan beban pemerintah di bidang pendidikan. Dalam hal ini patut
dicatat bahwa dari 36.000 jumlah madrasah yang ada (yang mengajarkan ilmu-ilmu
agama dan ilmu-ilmu umum), 96 persen di antaranya dikelola oleh masyarakat
secara swadaya, atau madrasah swasta. Sementara itu madrasah yang mengkhususkan
diri pada mata pelajaran agama, yaitu madrasah diniyah yang dikelola
masyarakat, jumlahnya telah mencapai 22.000.
Kini madrasah dipahami sebagai lembaga pendidikan Is¬lam
yang berada di bawah Sistem Pendidikan Nasional dan berada di bawah pembinaan Kementerian Agama. Lembaga pendidikan
madrasah ini telah tumbuh dan berkembang sehingga merupakan bagian dari budaya
Indonesia, karena ia tumbuh dan berproses bersama dengan seluruh proses
perubahan dan perkembangan yang terjadi di dalam masyarakat. Kurun waktu cukup
panjang yang dilaluinya, yakni kurang lebih satu abad, membuktikan bahwa
lembaga pendidikan madrasah telah mampu bertahan dengan karakternya sendiri,
yakni sebagai lembaga pendidikan untuk membina jiwa agama dan akhlak anak
didik. Karakter itulah yang membedakan madrasah dengan sekolah umum. Sehingga
dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (UUSPN) 1989, madrasah
didefinsikan sebagai "sekolah umum dengan ciri khas Islam", sebuah
pengakuan atau sebutan yang cukup simpatik.
mantap....
ردحذفBerikan masukan dan saran
ردحذفإرسال تعليق